ELFA SECIORIA: INILAH DIA, PEMILIK "PABRIK PENYANYI" INDONESIA
Jakarta, KCM
Ia disebut-sebut sebagai musisi jenius dan bertangan dingin. Tapi dengan guyonannya, pria Sunda kelahiran Garut 20 Februari 1959 ini, justru taklah menganggap dirinya sehebat itu.
"Saya sendiri enggak ngerti apa maksudnya bertangan dingin, tapi kalau pembunuh berdarah dingin kayaknya iya," guyon musisi bernama Elfa Secioria Hasbullah, 43 tahun.
Diakui atau tidak, lewat tangan Elfa, setidaknya, banyak penyanyi tangguh yang lahir dari tangannya turut memberi warna dalam khazanah musik tanah air.
Lewat Elfa Music Studio (EMS), misalnya, yang didirikannya di Bandung pada tahun 1981 --dan kini berkembang ke Yogyakarta, Garut, Jakarta, Surabaya, dan Denpasar-- telah dicetak sejumlah musisi andal. Alumni EMS yang namanya mencuat, sebut saja Trie Utami, Ruth Sahanaya, Yana Julio, Rita Effendy, Lita Zein, Agus Wisman, Uci Nurul, Yopie Widiyanto hingga penyanyi muda Sherina dan Andien.
Segudang prestasi pun telah banyak diraihnya. Di pentas musik bertaraf internasional, nama Elfa Secioria seakan menjadi jaminan mutu. Cukup banyak, tentunya, untuk disebutkan satu persatu, setelah hampir 38 tahun berkiprah di dunia musik.
Semisal, tahun 1982, ia menjadi arranger dan konduktor untuk lagu Lady di ajang The World Popular Song Festival di Budokan Hall. Tokyo, Jepang. Bersama Harvey Malaiholo, lagu karangannya Kugapai Hari Esok, yang dibuatnya bersama Ferina (mantan personel Elfas Singers), berhasil memukau di Golden Kite World Song Festival di Kuala Lumpur, Malaysia, 1984. Di tahun 1988, Elfa terpilih sebagai aranjer terbaik di BASF Award. Di tahun yang sama, lagu Inikah Cinta gubahan Elfa Seciora terpilih sebagai salah satu lagu dari 10 lagu terbaik Festival Lagu Tingkat Internasional Vina del Mar di Chile, 1988.
Bahkan, Sejak keterlibatannya di festival lagu internasional di Budokan Hall, Tokyo, Jepang sejak tahun 1982, nama Elfa kian berkibar. Ia telah empat kali menjadi konduktor di ajang tersebut. Pada tahun 1986, ia menghantarkan Harvey Malaiholo sebagai juara kedua penyanyi terbaik di ajang 2nd Golden Kite World Song Festival di Kuala Lumpur, lewat lagu Seandainya Selalu Satu . Tahun 1990, ia menjadi music director dan composer untuk Katulistiwa Band di Tokyo dan berhasil meraih penghargaan tertinggi, Golden Grand Prix Winner. Tahun selanjutnya, masih sebagai music director dan composer, giliran Kahitna Indonesia Band yang meraih penghargaan tersebut. "Lawannya paling sedikit 32 ribu band," katanya.
Elfa adalah anak sulung dalam keluarga Hasbullah Ridwan (almarhum). Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga pemusik. Sang ayah, adalah orang yang pertama kali memperkenalkan musik padanya. Sebab, selain seorang polisi militer, ayahnya dikenal sebagai pemimpin orkes.
Elfa mengakhiri masa lajangnya dengan mempersunting Vera Sylviana Yachya, putri keluarga Ny. Usman Yachya, yang juga anggota Elfas Big Band Voice, pada tanggal 8 Juni 1991. Hingga kini, ia dikarunia empat orang anak, yakni Hariza Ivan camille (10 tahun), Raisa Ivan Cavell (9), Cesyl Athaya Fauziyya (5), dan si bungsu Cheryl Lunetta Salsabiila, yang kini baru berusia 1,5 tahun.
Semasa kecil, oleh sang ayah, ia dilatih musik dengan gaya militer yang keras dan penuh disiplin. Namun seperti katanya, ia menjalankannya dengan senang hati. Namun didikan yang keras itu toh akhirnya membuahkan hasil yang luar biasa.
Semasa duduk dibangku SMP sampai SMA, kala itu, dia kenyang main musik di berbagai night club . Saking cintanya terhadap musik, Elfa pun memilih meninggalkan kuliahnya di jurusan Arsitektur Akademi Teknik Nasional, Bandung.
Elfa selain mengurus Elfa Music Studio, ia juga masih menjadi motor dari Elfas Singers, Elfas Big Band (EBB) serta EBB Voices. Ia tak henti-hentinya bekerja untuk mencari bibit-bibit unggul dengan membuka sekolah-sekolah yang kini mulai merambah ke luar Jawa.
Kiatnya mengelola kelompok musik adalah menumbuhkan iklim musikalitas yang sehat. Ini penting katanya, untuk memperkaya interpretasi musikus atau penyanyi. Mereka yang pondasi musiknya kuat, tidaklah mudah linglung atau menurun penampilannya tatkala menghadapi jenis dan warna musik apa pun yang tumbuh. Wawasan dan pengalaman adalah syarat penting yang harus dimiliki anak-anak didiknya.
Maka tak heran, ia seringkali mengajak mereka untuk tampil di berbagai ajang festival, yang bisa mengasah kemampuan dan percaya diri. Setelah memboyong kelompoknya di "World Port Jazz Festival", di Rotterdam, Belanda, Juni lalu, kini Elfa bakal kembali memboyong kelompoknya di Pusan, Korea Selatan, 19 Oktober nanti.
Untuk mengenal lebih jauh siapa lelaki berbadan gempal ini, berikut wawancara dengan Eko Hendrawan Sofyan dari Kompas Cyber Media , dalam beberapa kesempatan dan terakhir dihubungi di kediamannya, Jalan Duta, Kemang Pratama, Bekasi Barat, Senin, (22/7) lalu.
Bulan Juni lalu Anda baru pulang dari lawatan ke Belanda, bisa cerita?
Ya kita, Elfas Big Band baru saja ngikut festival di Rotterdam, Belanda. Namanya "World Port Jazz Festival". Kita berangkat sejak tanggal 13 Juni dan kembali lagi tanggal 25 Juni. Sedangkan festivalnya sendiri dilangsungkan tanggal 22-23 Juni. Di sana kita membawakan medley lagu-lagu daerah, dari mulai lagu Batak, Sunda, Minang sampai Ambon, seperti Manuk Dadali, Mande-mande hingga Sigulempong. Terus ada juga lagu bernuansa jazz How High the Moon .
Tanggapannya?
Lumayan bagus. Ada juga kok orang Indonesia yang sampai sengaja nonton kita, padahal jaraknya cukup jauh. Mereka rupanya dikabari orang-orang kita di Kedubes RI di Belanda. Karena sebelum manggung di festival tersebut, kita sempat main di beberapa tempat seperti di Kedubes RI dan Pasar Malam Tong Tong di Den Haag.
Pada festival tersebut, adakah yang membuat Anda cukup istimewa?
Tentu atuh . Di sana kita tampil dengan big band beneran dan tampil di panggung yang sama dengan orang-orang kesohor seperti Randy Crawford, George Duke, Candy Dulfer dan Freddie Cole, adiknya Nat King Cole, yang membawakan lagu-lagu kakaknya.
Selain pengalaman menarik, kabarnya Anda juga punya pengalaman buruk?
Iya. Saya kerampokan. Tas saya yang berisi barang-barang berharga, seperti kartu kredit, paspor, traveler check dan visa Amerika yang masih berlaku 4 tahun dibawa maling. Kalau uang tunainya sih enggak seberapa, hanya Rp 50 ribu tapi traveler check itu loh yang banyak banget.
Kejadiannya kapan?
Waktu saya, istri dan beberapa rekan makan pagi di hari terakhir kami di Belanda, tanggal 25 Juni. Saya sendiri enggak nyangka. Kejadiannya begitu cepat dan mana tahu ada maling di kawasan hotel Hilton tempat saya nginap. Orang pakaiannya saja pada rapi-rapi. Pakai jas, pokoknya perlente lah. Eh, enggak tahunya maling. Saya pikir sudahlah, barangkali itu bukan rezeki kita. Tapi yang lumayan rada disesali sampai sekarang, paspor lama saya yang disatukan dengan paspor baru juga turut hilang. Kalau diinget-inget, paspor lama itu, bisa jadi catatan perjalanan karier penting saya di dunia musik. Karena mencatat seluruh perjalanan saya ke berbagai negara, termasuk ke Chile, London juga Los Angeles (AS).
Terus bagaimana nasib Anda dan rombongan waktu itu?
Kita sempat bingung. Sempat ngejar, tapi ya hasilnya nol. Anda bisa bayangkan, hari terakhir di negara orang, enggak ada paspor, tiket dan dokumen-dokumen resmi lainnya. Gimana enggak stress. Ibaratnya kita seperti bertelanjang di Padang Sahara. Untung saja kita bisa balik lagi. Pihak KBRI membantu kita mendapatkan paspor baru. Kita mengambil hikmahnya sajalah sebagai pengalaman berharga.
Kembali soal musik. Setelah dari Belanda, festival apa lagi yang akan diikuti?
Oh ya, sekarang kita lagi mempersiapkan diri untuk mengikuti "International Olympics Choir Contest 2002", yang akan berlangsung di Pusan, Korea Selatan, 19 Oktober tahun ini. Tahun ini, kita harus lebih berjuang keras untuk mempertahankan posisi juara dunia paduan suara yang kita raih di ajang "Choir Olympic Linz" pada tahun 2000 di Austria. -- di ajang tersebut rombongan paduan suara pimpinan music director dan arranger Elfa Secioria berhasil meraih empat penghargaan, masing-masing penghargaan tertinggi untuk Elfa‘s Male Vocal Ensambles, medali emas untuk kategori POP, medali emas untuk Elfa‘s Singers Choir dan Diplome der Stufe Gold III untuk Elfa‘s Children Choir.
Berapa personel yang akan Anda terjunkan nanti?
Oh banyak sekali. Kita sekarang sedang mempersiapkan kurang lebih hampir 200 orang untuk festival ini. Kita akan melawan 84 negara dengan jumlah penyanyi sekitar 2000 orang. Saya akan kirim tiga unit. Mereka sebagian murid-murid saya, teman-teman saya dan ada juga rekrutmen baru. Unit pertama adalah Elfa‘s Singers yang anggotanya akan ditambah hingga 30 orang, Vokal Grup Etnik Choir dan Elfa‘s Children Choir, yang terdiri dari anak-anak di bawah 16 tahun. Elfa‘s Singers Choir dan Etnik hanya akan tampil di final saja, karena tahun sebelumnya telah mendapat medali emas. Tahun ini, kita juga selain memboyong orangtua peserta, juga akan mengajak sejumlah pemusik dari Bali, keroncong dan jaipong.
Kira-kira negara mana yang perlu diwaspadai?
Korea Selatan sebagai tuan rumah tentunya berambisi untuk ini. Mereka sudah jauh-jauh hari melakukan persiapan. Untuk kategori Children Choir saingan terberat datang dari Hungaria, yang tahun lalu menjadi juaranya. Sedangkan untuk etnik dan pop, saya optimis. Untuk etnik, kita sudah mempersiapkan empat etnik, yang saya yakini cukup mewakili Indonesia, yakni Aceh, Minang, Bali, Jawa (Sunda).
Apa senjata ampuh yang akan Anda Keluarkan nanti?
Ada. Saya akan mencoba memasukan jenik musik jazz yang diracik dengan nuansa musik tradisional dari masing-masing daerah. Memang aneh, tapi biar memancing perhatian mereka. Biasanya sesuatu yang kontroversi mengundang perhatian orang. Partiturnya saya buat secara dadakan. 12 partitur saya kerjakan hanya dalam satu minggu. Bukan apa-apa, biasanya kalau dikejar deadline kita jadi enggak ditunda-tunda.
Bagaimana dengan sekolah musik Anda?
Untuk sekolah musik saya itu sudah dalam tahap delapan sampai sepuluh franchise. Setelah di Bandung, Yogyakarta, Jakarta, Bogor, saya akan menjajagi untuk sekolah musik di Surabaya dan Medan. Saya rasa itu saja sudah cukup. Saya tidak ingin terlalu banyak cabang, tapi enggak keurus. Inginnya sih satu tapi besar seperti college .
Obsesi lain?
Kalau Big Band, saya ingin punya orkestra. Enggak usah big tapi super -lah.
Ada yang menuding kalau Anda mendirikan sekolah musik hanya sekedar bisnis semata, tanggapan Kang Elfa?
Oh enggak mungkin. Berangkat karier saya lebih ke pendidikan bukan dari industri. Ambil contoh kecilnya saja, setiap penyanyi atau musisi yang saya produce dan langsung saya orbitkan, lantas berhasil, saya selalu lepas. Saya enggak mau monopoli. Sebagai pendidik saya cukup bahagia, bangga dan terharu kalau ada murid saya yang bisa mandiri dan berhasil. Justru dengan didirikannya sekolah-sekolah musik, ada tempat yang dapat digunakan untuk mengasah kemampuan sumber daya manusia Indonesia yang berlimpah bakat. Kita memang kelihatannya menabrak arus dalam hal beaya pendidikan. Tapi saya rasa itu adalah sebuah jawaban yang harus diambil untuk menghasilkan sesuatu yang bagus.
Apa yang ditawarkan di sekolah musik Anda?
Seperti saya bilang, negeri ini berlimpah bakat. Punya banyak penyanyi yang cukup berpotensi. Hanya saja, tidak mengetahui to do how-nya dalam mengasah kemampuan. Jadi kesempatan untuk belajar teknisnya nggak ada dan kesempatan untuk tampil di berbagai ajang tidak ada atau kurang, yang akhirnya banyak potensi yang enggak tergali. Nah, hal-hal itulah yang mungkin bisa disediakan oleh saya. Saya mencoba memberikan penguasaan teknik dan pengalaman manggung yang memadai. Mereka yang jadi murid saya barangkali rada sedikit beruntung, karena peluang untuk dapat pengalaman panggung cukup memadai. Itu yang membuat mereka rada melenggang. Kata orang Sunda mah, rada disayagikeun (Sudah disediakan-red ).
Anda disebut-sebut sebagai musisi bertangan dingin, menurut Anda?
Saya sendiri enggak ngerti apa maksudnya bertangan dingin, tapi kalau pembunuh berdarah dingin kayaknya sih iya. Saya rasa, itu karena saya tertolong dengan bakat yang luar biasa anak-anak Indonesia. Negeri ini berlimpah bakat. Saya hanya mengarahkan saja.
Apa ramuan yang Kang Elfa tawarkan dalam urusan mencetak penyanyi Andal?
Agar bisa menjadi seorang penyanyi yang baik, syaratnya harus mengisi tiga tabung. Tabung pertama yaitu pengetahuan, kedua, pergaulan dan yang ketiga pengalaman atau jam terbang. Kalau seseorang masuk sekolah musik, itu berarti, baru 33 1/3 persen tabungnya terisi. Tinggal pengalaman dan pergaulan yang perlu digali. Caranya tidak lain dengan terlibat di banyak konser dan banyak bergaul dengan yang jauh lebih berpengalaman. Jangan dengan orang yang satu level lah. Tiga itu penting. Kalau tidak bakal terjadi teori kaki becak.
Apa itu?
Bayangkan jika becak satu bannya tidak ada. Sudah jangan ditanya lagi, pasti akan terguling. Pondasinya tidak kuat. Nah , dalam urusan musik pun sama. Makanya, jangan heran kalau sekarang banyak artis kagetan. Ada kesempatan naik, lalu ngorbit tapi kakinya enggak kuat, pasti akan gampang jatuh.
Dan, itu banyak terjadi di Indonesia?
Banyak sekali. Itu yang saya coba untuk ingatkan kepada murid-murid saya jangan mau terburu-buru, sebelum dasarnya kokoh. Harus dimulai dari bawah. Dibekali dengan pondasi yang kuat, biar nantinya tidak mudah jatuh.
Apa masukan Anda buat yang lain?
Sebaiknya, jika kita punya kesempatan, semuanya harus dimulai sejak dini kalau tidak bakal terlambat. Menyanyi itu bisa diibaratkan bisnis yang "sangat jujur". Artinya tidak bisa dikatrol. Hasilnya apapun akan tampak terlihat. Kalau memang matang, itu akan matang betulan. Semua itu hanya akan kelihatan di atas panggung secara telanjang. Seorang guru hanya bisa mengantar anak didiknya sampai batas panggung. Selebihnya, diserahkan pada si pelaku. Jika penonton suka, pastilah dibeli. Kalau buruk, penonton tak akan beli. Latihan mestinya dilakukan dari awal dan harus diperihara setiap hari. Benar kata orang tua dulu, kalau ingin hasil yang maksimal, berlatihlah minimal dua jam setiap hari. Penyanyi atau musisi bukanlah seperti atlet, yang makin lama fisiknya akan turun. Musisi sebaliknya, makin lama akan makin matang jika dilatih.
Anda sendiri waktu kecil seperti apa?
Saya belajar piano sejak umur lima tahun dari bapak saya. Dia seorang polisi militer, makanya cara ngajarnya pun ala militer. Setiap hari saya harus belajar dua sampai empat jam. Meski begitu, saya lakukan dengan senang hati. Terus, waktu itu masih enggak banyak ganguan. Televisi sangat terbatas. Siarannya paling dua jam perhari. Mall dan supermarket jelas tidak ada. Jadi setelah pulang sekolah, saya lari ke rumah untuk latihan piano. Itu saya lakukan setiap hari. Malah bapak sering melakukan sensor buat kuping saya. Untuk mendengarkan radio saja, kuping saya harus disensor. Kuping saya dibiasakan untuk mendengarkan gelombang-gelombang yang cocok untuk telinga saya. Bapak yang menentukan musik seperti apa yang patut saya dengarkan dan yang tidak.
Sampai usia berapa Anda dikontrol seperti itu?
Sampai usia saya 15 tahun. Dan saya merasa bersyukur bapak saya melakukan sensor seperti itu. Sehingga, sesuatu yang sifatnya distorsi lingkungan itu bisa ketutup.
Seperti apa sih, petualangan bermusik Anda sebelum seperti sekarang?
Oke. Sejak di bawah bimbingan bapak, saya langsung belajar musik jazz. Tahun 1966, waktu umur 7 tahun, saat itu saya sekolah kelas 2 SD sudah mulai show, menerima uang dari hasil manggung. Setahun kemudian, saya punya grup Trio Jazz Junior namanya "IVADE" singkatan dari Ivan, Elfa dan Ade. Trio anak-anak yang menampilkan karya-karya musik Jazz di TVRI. Kelas lima SD, saya mulai belajar vibraphone dan orgen. Dalam waktu yang sama, saya belajar aransemen orkestrasi dan masuk simponi Angkatan Darat, belajar dari sang dirjen waktu itu, (Alm). F.A Warsono. Posisi saya saat itu sebagai pemain vibraphone, tapi juga belajar aransemen orkestra. Semasa duduk di SMP dan SMA, waktu itu, saya sering manggung di night club . Lumayankan bisa mengasah pengaman musikalitas saya. Tahun 1978, guru saya pak Warsono meninggal.
Terus?
Ya, akhirnya saya praktek bermusik dengan Orkestra Telerama pimpinan Pak Iskandar. Dalam waktu yang sama, saya juga diminta pak Iskandar untuk memegang Orkestra Candra Kirana untuk pertunjukan musik di TVRI. Tahun 1978, saya memenangkan Kontes Organ Lowrey di Jakarta. Baru tahun 1982, saya berkesempatan untuk terlibat di pestas internasional di acara The World Popular Song Festival di Budokan Hall, Jepang.
Kabarnya, anak Anda sudah mulai mengikuti jejak Anda?
Ya sedikit-sedikit. Tapi dibanding kakak-kakaknya, anak ketiga saya, yang kelihatannya sangat agresif dan paling menonjol. Barangkali lantaran dia perempuan, sehingga kakaknya yang laki-laki sering mengalah. Kalau dia yang ngotot di piano, maka yang laki-laki semua diam. Saking agresifnya, saya jadi takut. Maksudnya takut jadi! ha..ha..ha
Apa Anda melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan bapak terhadap Anda?
Yang saya tahu seperti itu. Saya harus memberi konsumsi yang menurut saya baik untuk kupingnya. Saya harus mensensor apa-apa yang perlu buat mereka menurut saya. Meski akan ada sedikit masalah dalam hal pergaulan dengan teman-temannya. Tapi, saya rasa itu enggak terlalu dikhawatirkan. Toh, setiap tahun di sekolah mereka akan gonta-ganti teman. Paling saya ngasih pengertian, kalau kita punya tujuan yang lebih panjang, ya mau tidak mau harus dilakukan. Di sini peran orang tua lebih dituntut.
Apa segitu pentingnya?
Terus terang anak-anak kecil itu susah menghapus apa yang telah ia rekam. Kalau yang masuk ke kupingnya sesuatu yang enggak benar, ya sulitlah untuk menghapusnya. Akan lebih sulit kalau hal itu sudah sampai ke tingkat dialek. Yang coba saya terapkan kepada anak saya sekarang paling bagaimana melatih hearing , membangun lingkungannya. Makanya, saya sering ajak mereka kalau ada gladi resik. Untuk teknis, saya belum sampai intensif.
Istri Anda turut mendukung?
Dia itu kan bekas murid saya juga. Jadi kita berada di kapal yang sama. Yang namanya kegiatan dan irama kerja di bidang musik itu masing-masing sudah tahu. Jadi enggak ada persoalan.
Apa sering juga dilibatkan?
Kadang-kadang saya melibatkan dia juga untuk pembuatan jingle iklan, lirik lagu atau pun album-album. Terakhir dia terlibat dalam pembuatan albumnya Sherina, My Life , sebagai penulis liriknya. Malah dia ikutan nyanyi.
Anda kan termasuk orang sibuk, Apa ada waktu khusus untuk keluarga?
Saya mencoba meliburkan diri buat anak-anak khusus pada hari Senin. Mengambil hari yang enggak umum, biar kita bisa sering ketemu. Selasa sampai Minggu saya kerja. Berangkat dari rumah sebelum Dzuhur. Jadi masih ada waktu untuk bertemu dua anak saya. Malamnya baru kumpul semua. Selesai shalat Subuh, saya ngajar anak-anak sekitar 1,5 jam. Saya merasa, waktu seperti itu masih saja kurang buat mereka. ***